Sekarang gue sadar dan
sangat sadar bahwa gue telah kehilangan dia. Ya, mala mini setelah gue makan
malem bareng sahabat lama gue, Tia, sahabat gue dari kecil, dan gue selalu
cerita apapun ke dia termasuk mengenai (kita sebut saja Bram). Yup, sejak awal gue
dekat sama Bram, gue selalu cerita ke dia. Gue menceritakan semuanya secara
detail, tidak hanya bagaimana kita bisa dekat tetapi juga perkembangan dari
hubungan kami, apa visi, misi, dan tujuan gue. Ketika proses tersebut terjadi
mungkin gue ga cerita pada Tia. Yup, jarak jauh antara gue dan Tia. Gue yang
sibuk kuliah, kegiatan kampus, organisasi, maupun kegiatan-kegiatan di PPM
selalu ga ada waktu untuk menceritakan prose situ secara panjang lebar pada
Tia, karena ia juga sibuk, sibuk gawe dari pagi sampe malem, maklum kerja di
Jakarta yang macet sangat memakan waktu.
Harus gue akui, dari
awal gue menjalin hubungan dengan Bram adalah untuk menuntun dia supaya berada
di jalan yang sama seperti gue. Gue investasikan waktu, harta, dan tenaga gue
untuk mengajari hadist pada dia, untuk membela agama Alloh. Gue selalu sabar
dan membuat dia senyaman mungkin untuk mau mengikutinya, awalnya dia sangat
antusias, semangat, dan hasilnya lebih dari target yang gue inginkan. Setelah
kami pisah, aku ke Bandung dan ia ke Semarang, kami masih tetap lanjut, aku
masih sering memangkuli hadist pada dia meski via telepon. Dia masih semangat
dan antusias. Dia selalu mengajari orang tuanya ataupun temannnya tentang ilmu
yang baru saja ia kaji dari gue, pengamalannya 100 lah hehe.
Tak dipungkiri, gue
semakin sibuk dengan kuliah, organisasi, kegiatan kampus, maupun kegiatan di
PPM sehingga gue ga ada waktu untuk memangkuli dia lagi. Ini udah gue bayangin
pasti bakal terjadi, makanya sebelum kami pisah gue udah nyari alamat tempat
dia bisa ngaji disana, gue udah dapet CP dan alamat lengkapnya. Alhasil, gue
desaklah dia untuk menghubungi CP tersebut, gue bilang itu temen deket gue biar
dia percaya, dan dia mau. Gue juga bilang supaya dia mendatangi alamat
tersebut, namun ada aja alasannya. Dia bilang itu jauh banget lah, jarang
dilalui angkot. Padahal jelas” dia bisa pinjem motor temennya ataupun kalo ga
mau kesana, gue udah bilang bahwa temen gue ini bersedia untuk datang ke
kosannya, tapi dia ga mau. What? Gue udah usaha sejauh ini tapi dia ga mau, dia
belum bisa membuka hati dia untuk mau menjadi seperti gue. Perlu diketahui, gue
udah nunggu dia 1 bulan, 2, 3, bahkan 4 bulan berharap agar dia mau membuka
hatinya untuk mengikuti saran gue, berubah menjadi seperti diriku, kea rah yg
lebih baik. Tapi hasilnya 0.
Akhirnya, gue yg udah ga
tahan dengan sikap dia yg menentu seperti itu memutuskan hubungan kami.
Alasannya, aku sayang keluarga, keluargaku ga mungkin menerima orang yg ga
seperti kami. Aku sudah berusaha membuat kamu untuk seperti kami, namun
terlihat jelas bahwa dirimu menutup diri dan tidak mau, akupun sudah menunggumu
sampai 4 bulan penuh kesabaran tinggi dan menggugah rasa haruku. Terjatuh dan
terbangun berkali-kali aku rasakan, doaku selalu terlantun untukmu disetiap ibadahku,
harapan kecil itu selalu ada. Namun kaupun tak kunjung membuka hatimu.
Malam ini aku menceritakan
semuanya di restoran yang pernah aku dan Bram datangi sehingga mengingatkanku
kembali padanya, aku masih ingat betul dimana kami duduk ketika itu. Kami
sempat ditawari oleh pelayan restoran tersebut untuk duduk di tempat yg dulu
aku dan Bram tempati, namun kami menolak, aku khususnya tidak mau karena pasti
akan sangat mengingatkanku padanya. Aku menceritakan tentang proses yg belum
pernah aku ceritakan pada Tia, karena jarak kami yg jauh, kini ketika aku
pulang, aku bertemu kembali dan bercerita seperti layaknya 2 sahabat yg
merindu, yg memiliki banyak cerita yg ingin ditumpahkan saat itu juga. Tia
berkata,
‘Coba kalo lo samperin
dia ke Semarang, lo kenalin dan lo temuin si Bram dengan teman lo itu, pasti
dia mau, kali aja dia bakal nyaman dan mau berubah’. Perkataan ini sangat
menggugah hatiku. Yap, dulu aku sempat punya planning seperti itu, namun emosi
yg membara karena ia tidak mau membuka hatinya, membuatku mengurungkan niat
kecil itu.
‘Lo kan udah ngajarin
dia kitab solah 22 halaman, dia udah mempraktekkan di kehidupan sehari-harinya,
bahkan dia juga ngajarin orang tuanya. Nanggung banget, lo udah setengah jalan
kayak gini malah ditinggal’.
Zep, perkataan Tia menusuk hatiku, bener sih gue
emang udah setengah jalan.
‘Investasi waktu, harta,
dan tenaga sudah gue lakukan, masa lo mau mundur sampe disini sih maleoooo’
kataku dalam hati.
Sampai saat ini pun gue
masih mendoakan dia tiap gue ibadah, meskuipun gue tau gimana kabar dia
sekarang, dia kembali ga bener lagi, seperti dahulu sebelum bersama gue. Dia
sudah kembali pada dunianya yang dulu. Sulit untuk diriku untuk mengubahnya
kini. Dan sekarang aku merasa kehilangan dia. Rasanya, semua mimpi yg udah gue
rancang, hanyalah mimpi, tak ada kelanjutannya, tak ada konsistensi, tak ada
realisasi.
Di malam ini, aku hanya
bisa berharap semoga dia mendapat jalan untuk kembali seperti dulu lagi. Aku
tidak akan memaksamu. Biarkan dirimu beraktualisasi semaumu sampai kau berpikir
dan tersadar bahwa yang kau butuhkan adalah jalan yang dahulu aku tawari, jalan
yg dahulu aku ajak, jalan yang pernah engkau lalui meski baru setapak.
Bram, harus kau ketahui,
sebenarnya kau adalah anak yang baik, anak kebanggaan mama papamu, anak penerus
keluarga, anak yg berbakti pada kedua orang tua, anak harapan. Jalanilah
hari-harimu, raihlah prestasi untuk hidupmu yang lebih baik, jauhi kehidupan
burukmu yg terdahulu, bukalah matamu, lihat realita hidup ini. Aku tahu, suatu
hari nanti kau pasti akan sadar, akan sadar dan mencariku untuk mendapatkan
jalan itu kembali. Kau akan sadar …
so sweet ...
ReplyDeletehaha iya dong sa, mupeng yaaaa ;)
ReplyDelete